Indonesia
memiliki keragaman dan keunikan yang tiada duanya. Hal tersebut
tertuang dalam karya yang sudah diakui oleh masyarakat luas. Diantaranya
bahkan sudah diakui dunia Internasional sebagai warisan budaya atau
World Heritage. Salah satunya adalah karya budaya yang penuh dengan
nilai artistik yakni Batik.
Selama
ini batik memang sangat lekat dengan budaya suku Jawa. Padahal di
Indonesia sendiri kain batik tidak hanya berasal dari tanah Jawa.
Masing-masing memiliki keunikan dan keindahan serta ciri tersendiri.
Salah satunya adalah batik sasirangan yang berasal dari Banjarmasin,
Kalimantan Selatan. Berbeda dengan batik Jawa yang motifnya terbagi-bagi
berdasarkan kelas sosial si pemakai. Sejak dahulu batik sasirangan ini
dipakai oleh beragam golongan dan kelas sosial masyarakat Banjarmasin.
Batik
sasirangan sendiri memiliki banyak motif yang biasa digunakan antara
lain adalah motif sarigading, naga balimbur, kambang raja, bintang
bahambur, daun jaruju, iris pudak, kembang kacang, ombak sinapur, dan
sisik tanggiling. Kain yang digunakan untuk batik sasirangan pun beragam
yakni kain katun, mori, polyester serta kain sutera.
Pembuatan
batik sasirangan ini pun cukup sederhana tanpa memerlukan peralatan
khusus. Cukup dengan tangan untuk mendapatkan motif dan corak tertentu.
Pembuatannya melalui teknik jahitan tangan dan ikatan dengan teknik
tusuk jeluljur yang kemudian diikat tali raffia kemudian dicelupkan ke
air hangat yang sudah diberi pewarna. Pewarna yang digunakan biasanya
berasal dari bahan pewarna alam seperti kulit kayu ulin, jahe, air kulit
pisang dan daun pandan.
Dahulu pada masa Kerajaan Banjar,batik sasirangan biasa digunakan
sebagai ikat kepala atau biasa disebut “laung” . selain itu batik
sasirangan juga kerap kali digunakan untuk ikat pinggang kaum lelaki
atau kemben untuk kaum perempuan. Bahkan di tempat-tempat tertentu yang
masih mempercayai nilai-nilai spiritual, batik sasirangan seringkali
dikenakan untuk upacara adat dan penyembuh orang sakit.
Namun
seiring dengan perkembangan zaman, batik sasirangan biasanya digunakan
oleh masyarakat Banjarmasin dalam beragam acara seperti pesta perkawinan
atau acara resmi lainnya. Bahkan saat ini, tidak jarang batik ini juga
sudah digunakan dalam kegiatan sehari-hari baik dalam masyarakat
Banjarmasin maupun masyarakat pada umumnya.
Seiring
dengan perkembangan zaman serta perkembangan industry mode tradisional,
batik sasirangan terus menyebar ke daerah-daerah di Indonesia. Oleh
karena itu tidak sulit untuk mendapatkan sehelai kain batik sasirangan
dengan harga yang cukup terjangkau. Selain sebagai karya kebudayaan yang
patut dihargai dan dilestarikan keberadaannya, batik sasirangan juga
merupakan simbol dan identitas bangsa khususnya bagi masyarakat suku
Banjar yang memperkaya aset dan karya budaya bumi nusantara.
Dahulu pada masa Kerajaan Banjar,batik sasirangan biasa digunakan sebagai ikat kepala atau biasa disebut “laung” . selain itu batik sasirangan juga kerap kali digunakan untuk ikat pinggang kaum lelaki atau kemben untuk kaum perempuan. Bahkan di tempat-tempat tertentu yang masih mempercayai nilai-nilai spiritual, batik sasirangan seringkali dikenakan untuk upacara adat dan penyembuh orang sakit.
Asal-Usul Kain Sasirangan Banjar Dan Nilai Magisnya
Apa
sebenarnya kain sasirangan itu? Secara etimologis istilah Sasirangan
bukanlah kata benda sebagaimana yang dikesankan oleh pengertian di atas,
tapi adalah kata kerja. Sa artinya satu dan sirang artinya jelujur. Ini
berarti sasirangan artinya dibuat menjadi satu jelujur.
Kain
sasirangan memang identik dengan kain yang diberi gambar dengan corak
warna-warm berbentuk garis-garis jelujur yang memanjang dari bawah ke
atas (vertikal). Sungguhpun demikian, istilah sasirangan sudah
disepakati secara social budaya (arbitrer) kepada benda berbentuk kain
(kata benda).Lihat http://opinibanjarmasin.blogspot.com)
Menurut
catatan pseudo-historis, yang antara lain juga dimuat dalam Hikayat
Banjar, sekitar abad XII sampai abad ke XIV, kain Sasirangan yang
pertama adalah dibuat pada masa kerajaan Negara Dipa yang kala itu
disebut dengan kain Langgundi, yaitu kain tenun yang berwarna kuning.
Kala itu, kain Langgundi merupakan kain yang digunakan sebagai bahan
untuk membuat pakaian harian seluruh warga kerajaan Negara Dipa.
Kain
Sasirangan waktu itu boleh dikatakan berfungsi sama dengan zaman
sekarang, di mana setiap warga Kerajaan bebas dan berhak untuk
memakainya. Sampai pada suatu saat, Patih Lambung Mangkurat sedang
bertapa menggunakan lanting untuk mencari seorang raja bagi pemerintahan
kerajaan Negara Dipa sesuai dengan wasiat ayahnya, Empu Jatmika yang
tidak memperbolehkan diri dan keturunannya untuk menjadi raja lantara
mereka bukan berasal dari tutus raja. Ketika sedang bertapa, Patih
Lambung Mangkurat mendengar suara perempuan yang menanyakan maksudnya
dan diapun menjelaskan maksud pertapaannya tersebut adalah untuk mencari
seorang raja di kerajaanya. Suara perempuan itupun mengatakan bahwa
raja yang sedang dicari oleh Patih Lambung Mangkurat itu adalah dirinya,
namun perempuan itu mengatakan dia hanya akan menampkkan diri jika
Patih Lambung Mangkurat memenuhi permintaannya. Perempuan itu meminta
Patih Lambung Mangkurat untuk membuatkannya sebuah istana yang megah
yang dibangun oleh 40 orang perjaka dan sehelai kain Langgundi yang
ditenun oleh 40 orang perawan, yang keduanya itu harus selesai dalam
waktu satu hari. Sang Patih pun menyetujuinya dan langsung
melaksanakannya.
Setelah
permintaan dipenuhi, perempuan itu menampakkan diri keluar dari dalam
air dengan cantiknya berpakaian kain Langgundi. Perempuan itu disebut
oleh warga kerajaan Negara Dipa dengan sebutan Putri Junjung Buih,
karena muncul dari dalam air yang beriak/berbuih. Adapun kain yang
dipakainya disebut Kain Calapan yang kemudian dikenal dengan nama Kain
Sasirangan.
Konon,
sejak peristiwa itu warga kerajaan Negara Dipa tidak berani lagi
menggunakan kain Langgundi/Sasirangan karena takut kuwalat terhadap
Putri Junjung Buih. Hal ini mengakibatkan banyak pengrajin kain
Langgundi yang tidak lagi memproduksi kain tersebut.
Sungguhpun
demikian, tidak semuanya berhenti membuat kain sasirangan. Masih ada
beberapa pengrajin yang tetap membuatnya, namun tidak lagi dijadikan
sebagai pakaian sehari-hari melainkan untuk pengobatan bagi penyakit
yang bersifat magis. Jika dilihat dari legenda ini, ternyata asal-usul
kain sasirangan tidaklah sakral dan berbau magis. Artinya, ia bersifat
profan dan tidak mengenal pantangan atau hal-hal sejenisnya.
Kenapa
kemudian sasirangan menjadi sakral? Tampak dari legenda yang ada bahwa
keyakinan itu dibuat-buat dan dihubung-hubungkan dengan dunia leluhur.
Padahal, jika dibiarkan sebagaimana asal-usulnya, tidaklah ada bukti
yang menampik profanitasnya. Akibatnya kemudian justru fatal, ketika
kepercayaan terhadap kain sasirangan menjadi semacam itu, maka produksi
kain pada skala lokal menjadi menurun drastis dan sesuatu yang tidak
rasional (magis) menjadi rasional lantaran fakta-fakta sembuhnya pasien
penyakit kulit setelah memakai kain sasirangan terkumpul dan mengalahkan
fakta-fakta ketidaksembuhannya. Tampaknya itu saja, dan tidak lebih
dari itu.
Memang,
menurut keyakinan umum masyarakat Banjar tempo dulu, banyak penyakit
yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus. Kain Langgundi/Sasirangan
pun merupakan suatu media untuk penyembuhannya. Biasanya penyakit yang
dapat disembuhkan olehnya adalah penyakit pingitan, yang secara
tradisional dipahami sebagai penyakit yang berasal dari ulah para
leluhur yang tinggal di alam roh. Dalam kurun waktu tertentu akan ada
anak, cucu, buyut, intah, ataupun yang lain akan terkena penyakit
pingitan ini dan untuk penyembuhannya mereka harus mengenakan kain
Langgundi. Sebagai media penyembuhan, kain Langgundi bisa digunakan
sebagai sarung, kemben, selendang, atau juga ikat kepala yang disebut
laung bagi pria.
Corak dan warna kain Langgundi sangatlah beragam, karena setiap jenis penyakit pingitan memerlukan corak dan warna kain Langgundi tertentu juga. Inilah kiranya asal-usul motif sasirangan, dan konon sejak digunakan menjadi media pengobatan itulah maka kain Langgundi lebih dikenal dengan sebutan kain Sasirangan yang semakin kaya dengan motif-motifnya. Sasirangan setidaknya mengenal 19 motif, di antaranya sarigading, ombak sinapur karang (ombak menerjang batu karang), hiris pudak (irisan daun pudak), bayam raja (daun bayam), kambang kacang (bunga kacang panjang), naga balimbur (ular naga), daun jeruju (daun tanaman jeruju), bintang bahambur (bintang bertaburan di langit), dan kulat karikit (jamur kecil).
Ada juga motif gigi haruan (gigi ikan gabus), turun dayang(garis-garis), kangkung kaombakan (daun kangkung), jajumputan(jumputan), kambang tampuk manggis (bunga buah manggis), dara manginang (remaja makan daun sirih), putri manangis (putriCorak dan warna kain Langgundi sangatlah beragam, karena setiap jenis penyakit pingitan memerlukan corak dan warna kain Langgundi tertentu juga. Inilah kiranya asal-usul motif sasirangan, dan konon sejak digunakan menjadi media pengobatan itulah maka kain Langgundi lebih dikenal dengan sebutan kain Sasirangan yang semakin kaya dengan motif-motifnya. Sasirangan setidaknya mengenal 19 motif, di antaranya sarigading, ombak sinapur karang (ombak menerjang batu karang), hiris pudak (irisan daun pudak), bayam raja (daun bayam), kambang kacang (bunga kacang panjang), naga balimbur (ular naga), daun jeruju (daun tanaman jeruju), bintang bahambur (bintang bertaburan di langit), dan kulat karikit (jamur kecil).
menangis), kambang cengkeh (bunga cengkeh), awan beriring (awan sedang diterpa angin), dan benawati (warna pelangi).
Motif-motif tradisional itu kini dihidupkan kembali dengan selera populer. Motif sarigading kini dibuat lebih halus dan bahkan
telah
diberi hiasan garis emas (prada). Teknik prada tersebut merupakan
adopsi dari teknik prodo yang dikenal pada batik. (Lihat
http://www.urangbanua.com)
Kain
Sasirangan dengan pewarna alami ini juga disebut dengan kain Pamintan
(permintaan) karena dibuat berdasaarkan permintaan, terutama sesuai
dengan jenis penyakit yang akan disembuhkan.
Nilai
magis kain sasirangan tentunya juga berproses degradatif mengikuti
proses sejarah. Sebelum adanya pewarana sintetik, kain Sasirangan
dulunya menggunakan pewarna alami dari alam, misalnya dari pohon
Karamunting, Mengkudu, Akar Kebuau, Gambir, Pinang, dan lain sebagainya.
Selain pewarna-pewarana alami tersebut, kain Sasirangan biasanya juga
menggunakan beberapa bahan dari alam untuk memperkuat ketahanan
warnanya, misalnya seperti jeruk nipis, tawas, kapur, dan lain
sebagainya. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, kain Sasirangan
mulai kehilangan kesakralannya, antara lain karena komposisi pewarna dan
perekat warna tidak lagi alami, sehingga khasiat dari benda-benda alam
itu juga tidak menyatu lagi dengan kain sasirangan.
Perkembangan
zaman telah mengubah fungsi kain Sasirangan dalam kehidupan masyarakat
Banjar. Nilai-nilai sakral yang terkandung di dalamnya seolah-olah ikut
memudar, tergerus arus globalisasi mode yang begitu cepat. Globalisasi
menjadikan kain ini tidak hanya mengalami proses desakralisasi sehingga
berubah menjadi pakaian sehari-hari, tetapi juga semakin dilupakan
sehingga seolah-olah semakin tercerabut dari hati sanubari masyarakat.
Namun, hal ini memiliki nilai positif dari segi akidah, karena faktanya
seperti kembali ke asal-usulnya, bahwa setiap orang bisa saja
menggunakan kain Sasirangan dalam berbagai bentuk seperti baju,
selendang, kerudung, dan sebagainya tanpa harus dibayangi rasa cemas
akan kuwalat terhadap leluhur. Bahkan sekarang ini kain Sasirangan sudah
banyak dijadikan sebagai pakaian seragam bagi instansi-instansi atau
sekolah-sekolah di Kalimantan Selatan pada hari-hari tertentu, dan
sebagai cindera-mata bagi para tamu yang berasal dari luar daerah.
Pendeka kata, Sasirangan menjadi sama seperti kain-kain pada umumnya.
Namun
ada satu hal yang cukup menyedihkan bagi masayarakat Banjar pada
khususnya, yaitu dari sudut pandang sosio-ekonomis, karena beberapa
motif dari kain Sasirangan telah dipatenkan oleh negara lain sehingga
sekarang dikenal istilah kain sasirangan Cina, atau sasirangan impor.
Dengan kemajuan teknologi, motif sasirangan dapat dilayout dan diprint
dengan mesin cetak berbahan dasar kain. Meskipun demikian, ciri khas
sasirangan Banjar masih tetap ada, dan sampai saat ini jika orang
menyebut kain Sasirangan, maka sudah pastilah diidentikkan dengan
Kalimantan Selatan, bukan yang lain.
Lalu,
bagaimana dengan nilai magisnya? Jika kembali dilihat legenda di atas,
jelas sesuatu yang dibuat oleh manusia dapat dihilangkan. Ini pun telah
terbukti di zaman sekarang, ketika kain langgundi atau sasirangan telah
mendunia, nilai magis itu hilang. Para ulama Banjar pun sejak dulu telah
menggariskan satu prinsip bahwa la haula wa la quwwata illa billah.
Masalah penggunaan khasiat yang terdapat pada benda-benda alam, itu
betul, dan sama sekali tidak merusak akidah selama tidak diyakini bahwa
ada sesuatu selain Allah swt. yang dapat menyembuhkan. Jadi, apabila
terkena penyakit yang mirip dengan gejala pingitan, apa salahnya
didiagnosis dulu secara medis, dan masalah pengobatannya bisa dengan
cara medis dan bisa pula secara tradisional dan alternatif, karena hal
itu hanyalah syariat. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar