Suara nyanyian yang ditingkahi degupan gendang membahana disetiap acara
adat yang dihajatkan penduduk Kalimantan Selatan sebagai simbol etnik
yang sakral. Jenis kesenian ini dinamakan madihin dan orang yang
melantunkan sekaligus penabung gendang disebut pemadihinan. Asal kata
madihin dari bahasa Arab yaitu madah yang berarti nasihat atau pujian.
Kesenian madihin ini cuma ada di kalangan etnis Banjar di Kalsel saja
sehingga wajar budayawan Tajuddin Noor Ganie mendefinisikan kesenian
madihin sebagai puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau
dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental
tertentu sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam
khasanah floklor Banjar di Kalsel. Selanjutnya budayawan Anggraini
Antemas memprediksi bahwa tradisi penuturan madihin sudah eksis sejak
masuknya pengaruh agama Islam ke wilayah Kerajaan Banjar pada tahun
1526.
Pada zaman dahulu kala, pamadihinan merupakan sosok mistis karena harus melengkapi kemampuan dirinya dengan kekuatan supranatural yang disebut Pulung. Kekuatan pulung ini konon diberikan kepada pamadihinan oleh sosok gaib yang dinamana Datu Madihin. Pulung merupakan kekuatan supranatural dalam mempertajam kemampuan merangkai kata dan kalimat puitis seorang pamadihinan. Berkat kekuatan pulung inilah seorang pamadihinan akan dapat mengembangkan bakat alam dan kemampuan berutur mendapat derajat yang lebih baik. Tidak semua orang dari etnik Banjar yang mendapat pulung sehingga sosok pamadihinan menjadi langka. Kekuatan pulung hanya diberikan oleh Datu Madihin kepada para pamadihinan yang secara keturunan masih mempunyai hubungan darah dengan Datu Madihin yang menjadi sumber asal-usul Pulung. Budayawan tajudin noor Ganir menulis bahwa Datu Madihin ini adalah seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat dalam konsep kosmologi tradisonal etnis Banjar di Kalsel. Datu Madihin diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal keberadaan Madihin di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Konon, kekuatan magis pulung ini harus diperbarui setiap tahun sekali, jika tidak, tuah magisnya akan hilang tak berbekas. Proses pembaruan Pulung dilakukan dalam sebuah ritus adat yang disebut Aruh Madihin. Aruh Madihin dilakukan pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah. Menurut sejarawan Saleh kehadiran Datu Madihin dilakukan melalui ritual membakar dupa dan memberi sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak likat baboreh. Jika Datu Madihin berkenan memenuhi hajat ritual ini, maka Pamadihinan yang mengundangnya akan kesurupan kemudian bersenandung madihin yaitu tutur kata puitis yang diajarkan secara gaib oleh Datu Madihin. Sebaliknya, jika pamadihinan yang bersangkutan tidak kunjung kesurupan sampai dupa yang dibakarnya habis, maka kejadian itu merupakan pertanda kekuatan pulung yang diberikan oleh Datu Madihin sebagai talenta leluhur telah hilang sehingga secara ikhlas seorang pamadihinan tak lagi mampu mendendangkan tutur madihin dalam panggung kesenian rakyat.
Sumber: http://andre-regaar.blogspot.com/2013/04/misteri-kesenian-madihin-di-kalimantan.html
0 komentar:
Posting Komentar